Apakah Esensi Pernikahan Kristen ?
Memahami esensi dari pernikahan seperti yang dirancang dan ditetapkan Allah sangatlah penting bagi kelanggengan hubungan pernikahan. Karena itu kita akan memperhatikan pengajaran Tuhan Yesus mengenai pernikahan dalam Matius 19:4-10 dan pasal-pasal pararel lainnya.
Pertama-tama kita akan melihat definisi Pernikahan dan kemudian memperhatikan esensi dari pernikahan itu.Pernikahan dapat didefisinisikan sebagai berikut: “pernikahan merupakan hubungan eksklusif antara satu laki-laki dan satu perempuan, dimana keduanya menjadi “satu daging”, disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual; dijamin melalui sumpah sakral dan ikatan perjanjian serta dimaksudkan untuk seumur hidup”.Definisi ini didasarkan pada pernyataan Alkitab dalam Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31. Berdasarkan definisi tersebut, berikut ini lima esensi pernikahan Kristen.
1. Pernikahan merupakan suatu lembaga yang dibuat dan ditetapkan Allah bagi manusia sesuai kebutuhan (Matius 19:4,8).Pernikahan adalah suatu lembaga yang ditetapkan Allah bagi manusia sesuai dengan kebutuhannya. Perhatikan Frase dalam “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18).
Saat laki-laki (ha adam) “seorang diri saja” maka Allah menyatakan bahwa keadaan ini “tidak baik”. Jadi Allah memutuskan untuk menciptakan “ezer kenegdo” atau “seorang penolong”. Kata Ibrani “ezer” yang diterjemahkan dengan “penolong” berarti “sesuai dengan” atau “sama dengan”.
Jadi secara harfiah “seorang penolong” berarti “penolong yang sepadan atau seorang yang sepadan dengannya”. Dengan demikian jelaslah bahwa Allah sendiri yang menetapkan lembaga Pernikahan dan memberkatinya (Baca Kejadian 1:28).
Ketetapan Tuhan ini tidak pernah berubah dan ini berlaku “sejak semula” bagi semua orang, bukan hanya bagi orang-orang Kristen saja. Matius mencatat perkataan Kristus demikian, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” (Matius 19:4).
Kata Yunani “ap’arches” atau “sejak semula” yang disebutkan Yesus dalam Matius 19:4, pastilah merujuk pada Kejadian Pasal 2, karena kalimat selanjutnya “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”, yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari Kejadian 2:24.
Pernikahan adalah satu-satunya lembaga sosial yang ditetapkan Allah sebelum kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 2:24; Banding Kejadian 1:28). Karena itu pernikahan wajib dihormati oleh semua orang (Ibrani 13:4). Allah telah menetapkan pernikahan dari sejak semula, baik untuk orang-orang Kristen maupun untuk orang-orang bukan Kristen. Dan Allah adalah saksi dari seluruh pernikahan, baik diundang maupun tidak.
Meskipun bentuk dan tatacara bervariasi dalam setiap budaya dan setiap generasi tetapi esensinya tetap sama dari “sejak semula” bahwa pernikahan merupakan satu peristiwa sakral tidak peduli pasangan tersebut mengakuinya ataupun tidak. Sebuah keluarga dimulai ketika seorang pria dan seorang wanita memutuskan untuk menikah dan hidup bersama (Kejadian 2:24).
2. Pernikahan merupakan hubungan yang eksklusif antara seorang pria dan seorang wanita (Matius 19:5,6).Melalui pernikahan Allah menyatukan dua orang menjadi satu. Dalam rancangan Allah sejak semula, pernikahan adalah antara satu orang pria dengan satu orang wanita yang menjadi satu. Sejak semula Allah hanya menciptakan dua gender manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, yang walaupun berbeda dalam fungsi dan reproduksi, tetapi sama dalam derajat, harkat dan martabat. Sebab itu, bersyukurlah jika anda dilahirkan sebagai pria atau pun sebagai seorang wanita.
Dalam Kejadiam 1:27 dikatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki (ish) dan perempuan (ishsha) diciptakan-Nya mereka”. Kristus menegaskan kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?”
Jadi yang dimaksud dengan pernikahan Alkitabiah adalah antara seorang pria biologis dengan seorangan wanita biologis. Karena itu, pernikahan dengan sesama jenis (homoseksual) atau pun pernikahan dengan hewan bukanlah pernikahan, melainkan penyimpangan dari ketetapan Tuhan. Karena itu karakteristik paling mendasar dari pernikahan adalah bahwa pernikahan merupakan satu kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita.
Pernikahan itu juga bersifat monogami, yaitu untuk satu suami dan satu istri. Paulus berkata “baiklah setiap laki-laki (bentuk tunggal) mempunyai isterinya sendiri (bentuk tunggal) dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (1 Korintus 7:2). Monogami bukan hanya ajaran Perjanjian Baru, tetapi merupakan ajaran Perjanjian Lama.
Monogami adalah sejak dari mulanya ketika Allah menciptakan satu laki-laki (Adam) dan memberi dia hanya satu istri (Hawa). Fakta bahwa Allah mengijinkan poligami dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia memerintahkannya. Poligami, sebagaimana perceraian itu diijinkan bukan diperintahkan, hal ini terjadi karena ketegaran (kekerasan) hati. Tetapi sejak semula tidaklah demikian (Matius 19:8).
3. Pernikahan merupakan pertemuan dan hubungan antar pribadi yang paling intim. (Matius 19:5,6).Pernikahan adalah hal yang paling misterius tetapi serius. Karena, “keduanya akan menjadi satu”. Artinya, secara praktis keduanya akan beralih “dari aku dan kau menjadi kita” dan “dari saya dan dia menjadi kami”. Persatuan ini mencakup segalanya “disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual”.
Perhatikanlah saat Alkitab mengatakan “seorang pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu dengan istrinya. (Kejadian 2:24). Kata “meninggalkan” dan “bersatu” adalah dua kata yang penting untuk dipahami. Kata Ibrani untuk “meninggalkan” adalah “azab” yang berarti “melonggarkan, melepaskan, meninggalkan, meninggalkan sepenuhnya, secara total”.
Kata Ibrani untuk “bersatu” adalah “dabaq” yang artinya “mengikat, lem, melekat, menempel, bergabung berdekatan dengan atau mengikat bersama”. Artinya jelas, bahwa dalam pernikahan seorang pria melekatkan diri kepada istrinya sendiri, sehingga “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).
Secara khusus, pernikahan juga melibatkan kesatuan seksual antara pria dan wanita. Perhatikan frase “satu daging” dalam ayat-ayat Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31. Ada tiga tujuan relasi seksual dalam pernikahan, yaitu: penyatuan (Kejadian 2:24), perkembang biakan (Kejadian 1:28), dan rekreasi (Amsal 5:18-19).
Tetapi, hubungan seksual sebelum pernikahan disebut percabulan (Kisah Para Rasul 15:20; 1 Korintus 6:18) dan hubungan seksual diluar pernikahan disebut perzinahan (Keluaran 20:14; Matius 19:9). Percabulan maupun perzinahan, sangat dilarang di dalam Alkitab.
Dalam Perjanjian Lama, dibawah Hukum Taurat, mereka yang melakukan persetubuhan sebelum menikah diwajibkan untuk menikah (Ulangan 22:28-29). Hal ini penting sebab, seks dikuduskan oleh Allah hanya untuk pernikahan bukan sebelum pernikahan. Karena itu setiap orang wajib menghormati pernikahan (1 Korintus 7:2; Ibrani 13:4).
4. Pernikahan merupakan suatu kovenan yang bersifat mengikat (Matius 19:5).Pernikahan merupakan suatu kesatuan yang dilahirkan dari satu perjanjian dari janji-janji yang timbal balik. Kovenan pernikahan ini dinyatakan dengan gamblang oleh nabi Maleakhi ketika ia menulis “TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu” (Maleakhi 2:14).
Kitab Amsal juga berbicara tentang penikahan sebagai suatu “kovenan” atau “perjanjian” satu sama lain. Kitab ini mengutuk seorang yang berzinah “yang meninggalkan teman hidup masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya” (Amsal 2:17).
Sebuah kovenan menurut Alkitab, adalah sebuah hubungan yang sakral antara dua pihak, disaksikan oleh Allah, sanagat mengikat, dan tidak dapat dibatalkan. Kedua belah pihak bersedia berjanji untuk menjalani kehidupan sesuai dengan butir-butir perjanjian itu. Kata Ibrani yang digunakan untuk “kovenan” adalah “berit” dan kata Yunaninya adalah “diathêkê”. Istilah kovenan yang seperti inilah yang digunakan Alkitab untuk melukiskan sifat hubungan pernikahan.
Jadi jelaslah bahwa pernikahan adalah suatu perjanjian pada satu peristiwa dimana Allah menjadi saksi. Allahlah yang mengadakan pernikahan dan Dialah yang menyaksikan janji-janji tersebut benar-benar dibuat “dihadapan Allah”. Kristus menegaskan bahwa Allahlah yang benar-benar menyatukan dua manusia bersama-sama di dalam pernikahan dengan mengatakan, “Apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Markus 10:19).
Bagaimana dengan perceraian, bukankan Kristus mengatakan bahwa “apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”? :
Pertama-tama, perceraian dapat terjadi hanya karena satu alasan yaitu “zinah” (Matius 19:9). Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian. Satu alasan ini perlu ditegaskan karena orang farisi datang kepada Yesus dengan pertanyaan “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?”.
Frase Yunani “kata pasan aitian” sebuah frase yang lebih tepat bila diterjemahkan “untuk alasan apa saja” (Matius 19:3). Banyak penafsir Alkitab yang memahami “klausa pengecualian” ini sebagai merujuk pada “perzinahan” yang terjadi pada masa “pertunangan”. Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.”
Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai. Disini, Matius menggunakan kata Yunani “porneia” atau “percabulan”, yang pada dasarnya berarti ketidak-setiaan secara seksual atau ketidak-setiaan sebelum pernikahan yang mencakup segala macam hubungan seksual yang bertentangan dengan hukum. Jika perzinahan yang dimaksud terjadi setelah pernikahan maka kata Yunani yang biasanya digunakan adalah “moikeia”. Kata “moikeia” adalah perzinahan atau seks haram yang melibatkan seseorang yang sudah menikah.
Kedua, fakta bahwa Allah “mengijinkan” perceraian dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia memerintahkannya (baca Ulangan 24:1-4). Perceraian itu diijinkan bukan diperintahkan, hal ini terjadi karena “sklerokardia” atau “kekerasan hati” (Matius 19:8).
Ini berarti perceraian adalah konsensi ilahi bukan konstitusi ilahi. Kata Ibrani “tidak senonoh” dalam ulangan 24:1, adalah “erwath dabar”, sebuah frase yang secara harafiah berarti “ketelanjangan suatu benda”. Kata ini dapat diartikan sebagai “keadaan telanjang atau pamer aurat yang dikaitkan dengan perilaku yang tidak suci”, tetapi bukan perzinahan setelah pernikahan.
Karena hukuman bagi perzinahan setelah pernikahan dalam hukum Taurat adalah hukuman mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Imamat 20:10 “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu”. (Bandingkan Yohanes 8:5).
Tampaknya ada kesalahpahaman diantara pria Yahudi dalam menafsirkan tujuan dari ijin perceraian dengan memberikan surat cerai tersebut. Sebenarnya, surat cerai diberikan bukan untuk membenarkan perceraian, tetapi untuk melindungi hak-hak perempuan (istri), agar ia jangan diusir begitu saja atau diperlakukan seenaknya.
Tetapi ayat ini justru digunakan oleh para lelaki untuk mengajukan perceraian terhadap istri mereka. Suatu interpretasi yang keliru, sehingga tepat jika Yesus menuding keras dengan mengatakannya “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Matius 19:8).
5. Pernikahan bersifat permanen dan merupakan suatu komitmen kesetiaan untuk seumur hidup (Matius 19:6). Menurut Alkitab, kehendak Allah bahwa pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. Permanennya suatu pernikahan, dengan jelas dan tegas dikatakan Kristus, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).
Jadi Allah dari sejak semula menetapkan bahwa pernikahan sebagai ikatan yang permanen, yang berakhir hanya ketika salah satu pasangannya meninggal (bandingkan Roma 7:1-3; 1 Korintus 7:10-11). Paulus juga menegaskan hal ini ketika ia berkata “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu.
Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Roma 7:2-3).
Walaupun pernikahan berlaku seumur hidup, tetapi tidak bersifat kekal. Artinya, hubungan pernikahan hanya terjadi selama hidup di bumi, tetapi tidak berlanjut dalam kekekalan. Hal ini jelas dari apa yang Yesus katakan, “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga” (Matius 22:30). Meskipun kita pasti dapat mengenali orang-orang yang kita cintai di sorga nanti, tetapi jelaslah tidak ada pernikahan di sorga. Karena itu, Paulus menuliskan bahwa para janda dapat menikah lagi (1 Korintus 7:8-9), menunjukkan bahwa komitemen mereka hanya berakhir sampai kematian pasangan mereka.
Penutup. Pernikahan adalah hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa, yaitu suatu bayangan yang melukiskan persekutuan antara Kristus dan gerejaNya (Efesus 5:22-33). Dalam pernikahan suami dan istri mengikat diri dalam suatu tujuan yang kudus, untuk membangun rumah tangga bahagia dan harmonis.
Karena itu, janganlah pernikahan ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu.
Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Pernikahan mempersatukan kedua hati, mempersatukan kasih dan pengharapan dalam suatu kehidupan bersama. Dengan demikian Allah memberi kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Kehidupan bersama laki-laki dan perempuan harus didasarkan atas kasih karunia.
Sebagaimana Yesus Kristus mengasihi satu gereja dan gereja itu mengasihi satu Tuhan, demikian laki-laki dipanggil mengasihi satu perempuan dan perempuan mengasihi satu laki-laki.
Karena itu hendaklah pernikahan ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih karuniaTuhan. Hanya dengan cara yang demikian kehidupan bersama ini dapat bertahan dan menjadi berkat. Amin [Sumber : artikel.sabda.org].