Dua Pasal UU Pemilu Digugat Agar Rakyat Bisa Calonkan Presiden Sendiri
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kembali digugat. Kali ini oleh kelompok masyarakat yang menamakan dirinya Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen (PKPRI). Ketua PKPRI Sri Sudarjo mengungkapkan, pengajuan uji materi UU Pemilu diajukan agar rakyat bisa mencalonkan capres dan cawapres sendiri tanpa campur tangan partai politik atau independen.
"Harapan kami sebelum tanggal 10 Agustus 2018 kalau ini dimenangkan, artinya kami dari PKPRI bisa melakukan konsensus bersama rakyat," ujarnya di Gedung MK, Jakarta, Senin (6/8/2018). Ada dua pasal yang digugat yakni Pasal 222 tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidensial threshold dan Pasal 226 ayat (1) tentang syarat pencalonan capres dan cawapres oleh partai politik.
Agar rakyat bisa mengajukan capres dan cawapres sendiri, PKPRI meminta presidensial threshold yang ada di Pasal 222 dinaikan dari 25 persen menjadi 30 persen dari suara sah. Dengan catatan, 30 persen suara pemilih yang tidak memilih partai politik juga diakui. Acuannya karena angka rakyat yang tidak memilih atau golongan putih (Golput) pada Pemilu 2014 mencapai 30,42 persen.
Bila angka Golput diakui, PKPRI menilai rakyat yang tidak memilih pada Pemilu 204 juga bisa mencalonkan capres pada 2019 secara konsensus. Kedua, PKPRI juga menggugat Pasal 226 ayat (1) yang hanya menyatakan bahwa bakal capres dan cawapres didaftarkan oleh gabungan partai politik yang telah ditetapkan oleh KPU.
Sri menilai, seharusnya UU Pemilu tak hanya mengakomodir suara parpol namun juga konsensus rakyat. Oleh karena itu PKPRI meminta agar MK memasukan frasa Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen di dalam Pasal 226 ayat (1).
"Dengan begitu, kalau memang uji materi ini ya kami bisa mendaftarkan (calon presiden di Pilpres 2019 atas konsensus rakyat)," kata dia. JK mengungkapkan hal ini tergantung pada keputusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi masa jabatan wapres.[Sumber : kompas.com]