Seminar 500 Th Reformasi Gereja : Gereja Harus Siap Hadapi Perubahan
"Tokoh reformasi terbesar ialah Yesus Kristus, sebab ia memindahkan orang berdosa ke arah terang yang ajaib, dosa ke kemuliaan Tuhan, neraka menuju kuasa Tuhan (hidup kekal)," demikian tegas Pdt. Pdt. Gilbert Lumoindong, STh, salah satu nara sumber yang mengangkat tema Sebuah pelajaran rohani dari HUT 500 tahun reformasi Martin Luther.
Ia sebagai salah satu nara sumber di acara Seminar 500 Tahun Reformasi Gereja (1517-2017). Acara ini digelar oleh GBI Glow Fellowship Center - STT Global Glow Indonesia (GGI) di Glow Sanctuary, Jakarta Pusat (Sabtu, 04/11). Hadir membuka seminar yaitu Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama dan memberikan sambutan singkat. Ia menyambut baik terselenggaranya acara ini.
Para keynote speaker lainnya masing-masing Benni E. Matindas (Peta teologi pasca reformasi), Pdt. Dr. Andreas A.A. Yewangoe (500 tahun reformasi), Pdt. Anwar Tjen (Konflik interpretasi dan reinterpretasi di balik gerakan reformasi : menarik akar dan menimba hikmah).
Reformasi gereja ditandai dengan tindakan Martin Luther yang memakukan dalil-dalil penentangan terhadap ajaran gerejanya di pintu Gerja Wittenberg tepat 500 tahun lalu. Namun, fakta sejarah mencatat bahwa sejak era para tokoh masih hidup sudah terjadi perpecahan dengan teologi yang saling berbeda diantara penganjur reformasi.
Bahkan, perpecahan diikuti dengan tampilnya ajaran baru untuk mengkoreksi serta menyempurnakan ajaran sebelumnya berlangsung terus-menerus sampai hari ini di kalangan gereja-gereja reformasi (Protestan). Para tokoh itu antara lain John Wyclif, John Hus, Martin Luther, John Calvin, Zwingli dan lain-lain.
Tujuan seminar yaitu menemukan arah reformasi bagi misi gereja masa kini, memahami perbedaan asasi antara Protestantisme dan Katolikisme yang dipertahankan sampai hari ini, revitalisasi nilai-nilai reformasi sejati bagi gereja di era pos moderen.
Salah satu pembicara, Pdt. Gilbert mengawali paparannya dengan mengutip nats Ibrani 12:25-29. "Sejarah gereja mencatat bahaya terbesar dalam kegerakan pekerjaan Tuhan adalah ketidak-siapan untuk berubah baca : reformasi", ujarnya. Ia kemudian menguraikan re (kembali) dan form (bentuk).
Pdt. Gilbert mendefinisikan reformasi sebagai aksi untuk mengembalikan gereja kepada bentuk dan tujuan awal dibangun oleh Kristus. Dirinya prihatin kalau gereja menjadi 'kendaraan politik', sembari menambahkan seharusnya agama menjadi garam dan terang (menerangi) politik.
Lebih lanjut, Pdt. Gilbert menegaskan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu berubah masing-masing Sola Christo, Sola Fide, Sola Gratia, Sola Scriptura, Soli Deo Gloria. Sebaliknya, jika pengembangan dan penyampaian kebenaran bisa berubah bila mengarah ke hal - hal yang lebih sederhana, hal itu bisa dilakukan.
Namun, apakah keterbatasan pemahaman kebenaran perlu berubah ?. Menurutnya hal ini tidak boleh dipahami sebagai semangat yang terdiri dari unsur-unsur masing-masing : 1. Pemberontakan dan barisan sakit hati. Sebab menurut pengamatannya, banyak gereja (baru) yang berdiri akibat dari hal yang keliru ini.
2. Sinkritisme gereja dan iman. "Ini terlihat ketika (misi) Belanda masuk ke Nusantara dan mengijinkan 'percampuran' antara budaya setempat dan Injil," imbuh Pdt. Gilbert.
3. Semangat yang aneh-aneh dan sensasional (misalnya pelayan musik, singer, WL mengenakan rok mini dan lain-lain). Contoh lainnya, ada gereja tertentu yang menolak menyebut nama Tuhan Yesus Kristus, terasa sensasi jika ada (terasa) urapan Roh Kudus dan lain-lain.
Di bagian akhir dari pemaparannya, Pdt. Gilbert menyampaikan soal modal sebuah perubahan yang terdiri dari semangat dan ketulusan (pelayanan), keberanian dan kejujuran (waspada ada oknum hamba Tuhan yang bermain politik), pemahaman dan kepedulian (jangan mengkritik kalau diri kita sendiri tidak paham terhadap sesuatu), perseverance dan persistence (bertekun terus-menerus dalam pelayanan).
Pdt. Gilbert mengingatkan agar gereja masa kini berhati-hati terhadap ketidak-mauan menghadapi perubahan dengan resiko yaitu bakalan ketinggalan, ketersesatan, kekacauan, dan 'kematian'. Tak ketinggalan, ia menambahkan kalau seseorang dalam pelayanan menyimpan kepahitan, luka bathin maka ia akan menjadi pemberontak. Seharusnya ia memiliki hati yang dikuasai oleh kasih Kristus. Acara dilanjutkan dengan tanya-jawab.
Dipenghujung acara, pihak perwakilan Panitia menyerahkan sebuah buku yang berjudul "Disini Aku Berdiri, Percikan Pemikiran & Refleksi 500 Tahun Reformasi", dengan sampul depan Martin Luther dan Penyunting oleh Dr. Anwar Tjen masing-masing kepada Dirjen Bimas Kristen, Rektor STT GGI, Ketua Dewan Pembina Bamag Nasional (Dr. Saur Hasugian, M.Th. DD), Pdt. Gilbert dan para nara sumber.