Berita Bethel
Penulis: Pram (19/07/2017)
Di Gunung Karmel


“Sebab itu, suruhlah mengumpulkan seluruh Israel ke gunung Karmel, juga nabi-nabi Baal yang empat ratus lima orang itu dan nabi-nabi Asyera yang empat ratus itu, yang mendapat makan dari meja istana Izebel” (1 Raja-raja 18:19)

Israel sebagai umat allah yang dipimpin oleh raja Ahab mengalami krisis pangan berat (1 Raj. 18:2 bnd 17:1; Yak. 5:17), tidak ada hujan dan embun.



Situasi ini yang mendorong Elia menantang Ahab untuk bertemu di gunung Karmel dengan mengumpulkan seluruh orang Israel, 450 nabi Baal dan 400 nabi Asyera. Mengapa harus ke gunung Karmel?.  Elia mau menunjukkan siapakah sesungguhnya Allah, apakah Allah Israel yang disembah oleh Elia atau Baal yang disembah oleh Ahab dan seluruh orang Israel, dan gunung itu diyakini sebagai tempat kediaman Baal.



Elia perlu tahu posisi orang Israel, apakah berpihak kepada Allah Elia atau kepada Allahnya Ahab. Elia memberikan tantangan dengan mengajukan per tanyaan, “berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati?. Kalau TUHAN itu Allah, ikutilah Dia, dan kalau Baal Ikutilah dia” (1 Raj. 18:21).



Elia tidak menanyakan siapakah Allah yang sudah memberikan kemakmuran, kebahagiaan atau kesehatan melainkan siapakah sesungguhnya Allah. Orang Israel tidak dapat memberikan jawaban siapakah yang akan dipilih karena mereka sudah bercabang hati. Kata bercabang hati secara harafiah mengikatkan kaki pada 2 ranting pohon = timpang, artinya ragu-ragu (bnd Maz.119:113).



Hati mereka sudah berbagi, sebagian untuk Allah Elia dan sebagaian untuk allahnya Ahab, Baal. Orang Israel masih mengingat Allah dan tidak mengabaikan sebagai Allah nenek moyang mereka, namun disisi lain mereka menyembah kepada Baal yang dianggap dapat mencukupi kebutuhan mereka.



Pembuktian itu dimulai dengan disediakan 2 ekor lembu jantan satu untuk Elia dan satunya untuk nabi Baal, dipotong-potong dan diletakkan di kayu api tanpa ada api. Allah yang menjawab dengan api, dialah sesungguhnya Allah (ayat 23-24). Elia memberikan kesempatan per tama kepada 450 nabi Baal, mereka memanggil allah mereka dari pagi sampai tengah hari, dilanjutkan dengan

menari di sekeliling mezbah bahkan berteriak lebih keras lagi dengan menoreh-noreh tubuhnya.



Dengan satu harapan bahwa allah mereka akan mendengar, melihat apa yang dibutuhkan mereka. Namun kenyataannya, tidak ada suara, tidak ada yang menjawab dan tidak ada perhatian (ay. 26,28-29), bahkan tidak ada api. Apakah allah mereka sedang merenung, mungkin ada urusannya, mungkin ia bepergian, barangkali ia tidur dan belum terjaga, ejek Elia (ay. 27).



Usaha yang sia-sia karena mereka menyembah allah yang mati, punya mata tidak bisa melihat, punya telinga tidak bisa mendengar, punya tangan tidak bisa diulurkan untuk menolong dan punya kaki tidak bisa melangkah untuk mendekati (bnd Maz. 115:2-8).



Allah yang mati tidak punya kuasa untuk melakukan sesuatu dan tidak akan pernah memberikan per tolongan (powerless). Ini akan sangat kontras dengan Allahnya Elia, ketika ia mendapat giliran untuk memanggil Allahnya, ia hanya berseru “...Jawablah aku, ya TUHAN, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah, ya TUHAN, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali” (ay. 36-37).



Dan Allah memberikan jawabannya dengan menurunkan api untuk membakar korban bakaran (ay. 38). Allah yang hidup punya kuasa untuk melakukan sesuatu dan memberikan per tolongan (power full). Dengan caranya yang ajaib, Allah membuktikan siapakah sesungguhnya Allah dan ini berdampak pada pengakuan orang Israel, bahwa Ia adalah sesungguhnya Allah (ay. 39).



Bagaimana dengan saudara, apakah dalam pengiringan kepada Kristus akan bersikap seperti Israel, nabi Baal atau Elia?. [Sumber : R.A.B-Pdt. Muryati Setianto, Th.M/Foto : Istimewa].  “Pilihlah Allah yang hidup dan bukan allah yang mati”